Dalam khazanah budaya populer Indonesia, fenomena supernatural tidak hanya berasal dari tradisi lokal, tetapi juga banyak diwarnai oleh pengaruh budaya Tionghoa yang telah berakulturasi selama berabad-abad. Dua entitas hantu yang menarik untuk dikaji adalah Ba Jiao Gui dan E Gui, yang meskipun berasal dari mitologi Tionghoa, telah menemukan tempatnya dalam imajinasi kolektif masyarakat Indonesia. Artikel ini akan membahas perbandingan kedua hantu ini, konteksnya dalam tradisi Bulan Hantu, serta hubungannya dengan berbagai fenomena supernatural lokal yang populer di Indonesia.
Ba Jiao Gui, secara harfiah berarti "hantu pisang", adalah entitas supernatural dalam kepercayaan Tionghoa yang dikaitkan dengan pohon pisang. Menurut legenda, hantu ini terbentuk ketika roh manusia yang mati secara tidak wajar atau belum mendapatkan ketenangan terikat dengan pohon pisang. Ba Jiao Gui sering digambarkan sebagai penampakan putih yang melayang-layang di sekitar kebun pisang pada malam hari, khususnya saat bulan purnama. Dalam budaya populer Indonesia, terutama di daerah dengan populasi Tionghoa yang signifikan seperti Medan, Pontianak, dan Jakarta, cerita tentang Ba Jiao Gui masih sering diceritakan, meskipun telah mengalami adaptasi lokal.
E Gui, atau "hantu kelaparan", adalah konsep yang lebih luas dalam Buddhisme dan kepercayaan Tionghoa. E Gui mewakili roh-roh yang menderita karena kelaparan dan kehausan di alam baka, biasanya sebagai akibat dari karma buruk dalam kehidupan sebelumnya. Dalam tradisi Bulan Hantu (Ghost Month), yang jatuh pada bulan ketujuh penanggalan Imlek, E Gui dipercaya berkeliaran di dunia manusia. Ritual seperti pembakaran kertas perak (uang neraka) dan persembahan makanan ditujukan untuk menenangkan E Gui dan roh-roh lain yang kelaparan. Di Indonesia, tradisi ini masih dilestarikan oleh komunitas Tionghoa, meskipun sering kali disinkretisasi dengan kepercayaan lokal.
Tradisi Bulan Hantu sendiri merupakan konteks penting untuk memahami keberadaan Ba Jiao Gui dan E Gui dalam budaya Indonesia. Selama bulan ketujuh Imlek, dipercaya bahwa gerbang neraka terbuka dan roh-roh, termasuk E Gui, berkeliaran di dunia manusia. Masyarakat Tionghoa Indonesia melakukan berbagai ritual, seperti sembahyang leluhur, pembakaran barang-barang kertas, dan menghindari aktivitas tertentu (seperti pernikahan atau perjalanan jauh) untuk menghormati roh-roh dan menghindari nasib buruk. Tradisi ini telah mempengaruhi budaya populer Indonesia, dengan banyak cerita horor lokal yang mengambil latar waktu selama Bulan Hantu.
Fenomena supernatural lokal Indonesia juga menarik untuk dibandingkan dengan Ba Jiao Gui dan E Gui. Salah satu yang paling terkenal adalah legenda Si Manis Jembatan Ancol, yang menceritakan tentang hantu perempuan cantik yang muncul di sekitar Jembatan Ancol, Jakarta. Meskipun berasal dari cerita lokal, beberapa versi modern menghubungkan penampakan Si Manis dengan roh-roh tidak tenang yang mirip dengan konsep E Gui. Kisah ini menjadi populer melalui film-film horor Indonesia dan cerita-cerita urban legend, menunjukkan bagaimana elemen supernatural dapat berkembang dalam budaya populer.
Nenek Gayung adalah contoh lain dari fenomena supernatural Indonesia yang menarik. Meskipun tidak secara langsung terkait dengan Ba Jiao Gui atau E Gui, Nenek Gayung mewakili kategori hantu penasaran yang mirip dengan beberapa karakteristik E Gui - roh yang tidak tenang dan mencari perhatian. Dalam budaya populer, Nenek Gayung sering digambarkan sebagai hantu tua yang muncul di kamar mandi, menciptakan ketakutan yang sama dengan yang ditimbulkan oleh cerita-cerita Ba Jiao Gui di kebun pisang.
Permainan Jelangkung, yang melibatkan pemanggilan roh melalui medium boneka, juga menunjukkan persinggungan antara tradisi Tionghoa dan Indonesia. Meskipun Jelangkung memiliki akar dalam kepercayaan Tionghoa (dikenal sebagai "Jiangshi" atau "hantu loncat"), di Indonesia permainan ini telah menjadi fenomena budaya populer yang independen. Dalam konteks Ba Jiao Gui dan E Gui, Jelangkung dapat dilihat sebagai upaya manusia untuk berkomunikasi dengan roh-roh yang mungkin termasuk dalam kategori E Gui - roh yang belum mencapai ketenangan.
Konsep Hantu Saka dalam kepercayaan Jawa juga menarik untuk dibandingkan. Hantu Saka adalah roh penjaga yang diwariskan dalam keluarga, sering kali dalam bentuk benda pusaka. Meskipun berbeda dari Ba Jiao Gui dan E Gui yang lebih bersifat individual dan terikat pada tempat tertentu, Hantu Saka menunjukkan bagaimana konsep roh pelindung dan roh yang terikat telah berkembang dalam budaya Indonesia. Dalam beberapa interpretasi modern, Hantu Saka dapat memiliki karakteristik yang mirip dengan Ba Jiao Gui ketika roh tersebut terikat pada objek tertentu seperti pohon atau benda.
Hantu Sundel Bolong, salah satu hantu paling ikonik dalam cerita rakyat Indonesia, menawarkan perbandingan yang menarik dengan E Gui. Sundel Bolong adalah hantu perempuan dengan lubang di punggungnya, sering dikaitkan dengan kematian tragis selama kehamilan atau persalinan. Seperti E Gui, Sundel Bolong mewakili roh yang menderita dan belum mencapai ketenangan. Dalam budaya populer Indonesia, baik melalui film, cerita rakyat, maupun diskusi online, Sundel Bolong telah menjadi simbol ketakutan akan roh-roh penasaran, mirip dengan cara E Gui dipersepsikan dalam tradisi Tionghoa.
Konsep roh-roh penjaga alam dalam berbagai kepercayaan tradisional Indonesia juga relevan dengan pembahasan Ba Jiao Gui dan E Gui. Dalam kepercayaan Sunda, Jawa, Bali, dan banyak suku lainnya, terdapat keyakinan akan roh penjaga tempat-tempat tertentu seperti hutan, gunung, sungai, atau pohon besar. Roh-roh ini, meskipun biasanya dipandang sebagai pelindung daripada hantu yang menakutkan, memiliki kesamaan dengan Ba Jiao Gui dalam hal keterikatan pada tempat tertentu. Perbedaan utama terletak pada persepsi masyarakat: roh penjaga alam dihormati dan dipuja, sementara Ba Jiao Gui dan E Gui lebih sering ditakuti dan dihindari.
Dalam budaya populer Indonesia kontemporer, representasi Ba Jiao Gui dan E Gui telah mengalami transformasi yang menarik. Film-film horor Indonesia, komik, novel, dan bahkan konten digital sering kali mengangkat tema-tema ini, meskipun dengan interpretasi yang disesuaikan dengan selera pasar. Misalnya, dalam beberapa film horor Indonesia, karakter yang mirip Ba Jiao Gui muncul sebagai hantu yang terikat pada pohon tertentu di perkebunan, sementara konsep E Gui diadaptasi menjadi roh-roh kelaparan yang mengganggu penghuni rumah baru. Adaptasi ini menunjukkan bagaimana elemen budaya Tionghoa telah terintegrasi ke dalam narasi supernatural Indonesia.
Media sosial dan platform digital telah mempercepat penyebaran cerita-cerita tentang Ba Jiao Gui, E Gui, dan hantu-hantu lainnya. Grup-grup diskusi paranormal, channel YouTube yang mengkhususkan pada investigasi hantu, dan thread di forum online sering membahas pengalaman dengan entitas supernatural, termasuk yang berkaitan dengan tradisi Tionghoa. Fenomena ini tidak hanya melestarikan cerita-cerita tradisional tetapi juga menciptakan varian-varian baru yang sesuai dengan konteks modern Indonesia.
Dari perspektif antropologis, keberlanjutan cerita tentang Ba Jiao Gui dan E Gui dalam budaya populer Indonesia mencerminkan beberapa hal. Pertama, ini menunjukkan ketahanan elemen budaya Tionghoa meskipun ada berbagai perubahan politik dan sosial dalam sejarah Indonesia. Kedua, ini mengungkapkan bagaimana konsep-konsep supernatural dapat beradaptasi dan berkembang dalam masyarakat multikultural. Ketiga, popularitas cerita-cerita ini menunjukkan kebutuhan manusia akan narasi yang menjelaskan yang tidak diketahui, menghubungkan yang hidup dengan yang mati, dan menegaskan nilai-nilai budaya melalui cerita horor.
Perbandingan antara Ba Jiao Gui dan E Gui juga mengungkapkan perbedaan filosofis dalam memandang kematian dan alam baka. Ba Jiao Gui mewakili konsep roh yang terikat pada tempat tertentu karena keadaan kematiannya, sementara E Gui mewakili konsep penderitaan di alam baka sebagai akibat dari karma. Dalam konteks Indonesia, kedua konsep ini sering kali bercampur dengan kepercayaan lokal tentang roh penasaran (gentayangan) dan konsep keselarasan dengan alam.
Dalam kesimpulan, Ba Jiao Gui dan E Gui, meskipun berasal dari tradisi Tionghoa, telah menjadi bagian dari lanskap supernatural Indonesia melalui proses akulturasi yang panjang. Kedua entitas ini tidak hanya hidup dalam cerita-cerita tradisional tetapi juga telah beradaptasi dalam budaya populer Indonesia kontemporer, berdampingan dengan fenomena lokal seperti Si Manis Jembatan Ancol, Nenek Gayung, Jelangkung, Hantu Saka, Sundel Bolong, dan kepercayaan akan roh-roh penjaga alam. Studi tentang entitas-entitas supernatural ini tidak hanya menarik dari perspektif budaya tetapi juga mengungkapkan bagaimana masyarakat Indonesia memproses dan merepresentasikan ketakutan, harapan, dan keyakinan tentang dunia yang tidak terlihat. Seiring dengan perkembangan teknologi dan hiburan digital, narasi-narasi ini akan terus berevolusi, menciptakan dialog yang dinamis antara tradisi dan modernitas dalam memahami yang supernatural.